Golongan kapitalis tidak kenal anda 'siapa', tetapi kenal anda 'apa'.


Karl Marx, pernah berkata:

"Die Religion ... ist das Opium des Volkes"

"Religion is the opium of the people"

"Agama merupakan candu buat masyarakat"

Tetapi jikalau beliau masih hidup pada tahun 1979 dan menyaksikan salah satu sejarah dunia Islam yang agung iaitu Revolusi Iran, tentu beliau akan menarik balik kata-kata diatas. Bangsa yang ditindas oleh Shah Iran itu akhirnya bangkit dari akar umbi menumpaskan patung Amerika tersebut dengan kekuatan revolusi kelas tertindas dan Islam.

Alangkah indahnya perjuangan menegakkan keadilan ini dimiliki semua golongan yang tertindas. Alangkah indahnya gerakan jikalau gerakan Islam dapat ‘berdakwah’ kepada jutaan golongan Marxist dan Sosialis bahawasanya Islam berkongsi roh perjuangan yang sama dengan mereka. Alangkah lebih indah apabila perkahwinan antara ‘dakwah dan perjuangan menegakkan keadilan’ ini berakhir dengan perakuan bahawa Islam itu Ad-deen oleh jutaan golongan Marxis dan Sosialis ini…

Tetapi mengapa tidak begitu? Mengapa gerakan Islam tidak cuba membuka mata dengan melihat musuh yang lebih fana sifatnya, yang sudah meratah hidup-hidup jutaan manusia dari zaman Qabil dan Habil hinggalah di era globalisasi yang sememangnya gerakan Islam ditipu mentah-mentah?

Itulah kekurangan yang ada, dimana kekurangan ini jikalau diketemukan titik perjuangan yang sama bakal mengubah dunia ini daripada dinodai golongan kapitalis yang ditunjangi agenda Zionisme Internasional.

Gerakan Islam di dunia, terutamanya di Malaysia ini masih ingin bersikap “eksklusif” dalam menilai masalah umat manusia. Seolah-olah erti ke’Khalifahan’ itu hanya untuk orang Islam semata-mata.

Berapa ramai daripada golongan pejuang Islam ini yang mengenali dan mengiktiraf perjuangan Malcolm X, Che Guevara, Baghat Singh, Frantz Fanon, dan revolusinier yang seangkatan dengan mereka?

Walhal, golongan kapitalis begitu rakus menindas tidak kira siapa dan apa yang mampu mencabar kekuasaan mereka semenjak 200 tahun dahulu lagi.

Disinilah saya berpendapat bahawa perana pejuang Islam dan pejuang keadialan yang pelbagai terutamanya pejuang-pejuang sosialis harus berpadu tenaga untuk membela golongan yang tertindas tidak kira siapa pun asalkan namanya manusia, maka tanggungjawab itu terletak di pundak kita bersama.

Sama-sama kita mendekati saudara seperjuangan yang terdekat dengan kita pada mutakhir ini: Sosialisme.

Artikel dibawah dipetik dari laman http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?page_id=7 dengan olahan semula dalam Bahasa Melayu Malaysia untuk para pembaca budiman sekalian.


MENGENAL LEBIH DEKAT SOSIALISME


“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah lah mereka dikembalikan” (QS Ali Imran 83)


“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS Ali Imran 85)


I. Pengertian Sosialisme

Menurut Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, sosialisme mempunyai erti-erti sebagai berikut:

1. semua teori-teori ekonomi dan politik yang membela kepemilikan (ownership) kolektif atau kepemilikan pemerintah, dan pengaturan dari alat-alat produksi dan pengagihan barang.

2. a. sebuah sistem masyarakat atau kehidupan berkelompok yang di dalamnya tidak ada kepemilikan (property) peribadi.

b. sebuah sistem atau keadaan masyarakat yang di dalamnya alat-alat produksi dikuasai dan dikawal oleh negara.


3. sebuah fasa masyarakat yang di dalam teori transisi Marxist berada di antara kapitalisme dan komunisme, dan yang dicirikan oleh distribusi barang yang tidak merata dan pengupahan berdasarkan jumlah kerja yang dilakukan.


Sedangkan Columbia Electronic Encyclopedia menyebutkan bahwa sosialisme adalah sebuah istilah umum untuk teori politik dan ekonomi yang membela sebuah sistem kepemilikan bersama atau pemerintah, dan pengurusan alat-alat produksi dan pengagihan barang.

Karena sifat kolektif ini, sosialisme biasanya dipertentangkan dengan doktrin kesucian (sanctity) kepemilikan peribadi yang merupakan ciri utama dari kapitalisme. Kalau kapitalisme sangat menekankan persaingan dan keuntungan, maka sosialisme menganjurkan kerja sama dan pelayanan sosial.


Dalam pengertian yang lebih luas, sosialisme sering digunakan untuk menggambarkan secara lepas teori-teori ekonomi dari mulai teori yang mengatakan bahwa hanya hal-hal yang bersangkut kepentingan umum dan sumber daya alam yang harus dikuasai negara, sampai dengan teori yang menyebutkan bahwa negara harus bertanggungjawab kepada semua permasalahan ekonomi.


Gustav LeBon dalam bukunya The Psychology of Socialism (1899) menyebutkan bahawa sebuah evolusi (perubahan) yang terjadi dalam suatu masyarakat haruslah ditinjau dari 3 sisi:

faktor politik, faktor ekonomi dan faktor psikologi.

Karena itu, dalam melihat sosialisme, LeBon berpendapat bahwa kita harus melihatnya sebagai konsep politik, konsep ekonomi, konsep falsafah dan sebagai sebuah kepercayaan/keyakinan (belief).

Bahkan dalam bagian ke-2 dari bukunya ini, LeBon menulis tentang sosialisme sebagai sebuah kepercayaan yang salah satu babnya berjudul Evolusi Sosialisme Menuju Sebuah Bentuk Keagamaan (religious form).


Jelaslah bagi kita bahwa sosialisme bukanlah semata hanya sebuah teori ekonomi semata. Ia adalah sebuah jalan hidup yang meliputi berbagai aspek, dengan aspek politik dan ekonomi sebagai ujung tombaknya. Ia adalah sesuatu yang diyakini penganutnya sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan, bahkan dengan revolusi (marxisme), untuk membawa suatu perubahan dalam masyarakat. Tidaklah berlebihan kalau kita mengkategorikannya sebagai sebuah –dalam istilah Islam-dien.

II. Sejarah awal Sosialisme

Sosialisme muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagai reaksi dari perubahan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri. Revolusi industri ini memang memberikan kelebihan buat para pemilik fabrik pada saat itu, tetapi dilain pihak para pekerja justeru malah semakin miskin. Semakin menyebar idea sistem industri kapitalis ini, maka reaksi dalam bentuk pemikiran-pemikiran sosialis pun semakin meningkat.


Meskipun banyak pemikir sebelumnya yang juga menyampaikan idea-idea yang serupa dengan sosialisme, pemikir pertama yang mungkin dapat dijuluki sosialis adalah François Noël Babeuf yang pemikiran-pemikirannya muncul selama revolusi Prancis. Dia sangat memperjuangkan doktrin pertarungan kelas antara kaum modal dan buruh yang di kemudian hari diperjuangkan dengan lebih keras oleh Karl Marx.


Para pemikir sosialis setelah Babeuf ini kemudian ternyata lebih moderat dan mereka biasanya dijuluki kaum “utopian socialists”, seperti de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Mereka lebih moderat dalam erti tidak terlalu mengentengahkan pertentangan kelas dan perjuangan kekerasan tetapi mengetengahkan kerjasama daripada persaingan. Saint-Simon berpendapat bahawa negara yang harus mengatur produksi dan pengagihan, sedangkan Fourier dan Owen lebih mempercayai bahwa yang harus berperanan besar adalah komuniti kolektif kecil. Karena itu kemudian muncul perkampungan komuniti (communistic settlements) yang didirikan berdasarkan konsep yang terakhir ini di beberapa tempat di Eropah dan Amerika Syarikat, seperti New Harmony (Indiana) dan Brook Farm (Massachussets)[1].


Setelah kaum utopian ini, kemudian muncul para pemikir yang idea-ideanya lebih ke arah politik, misalnya Louis Blanc. Blanc sendiri kemudian menjadi anggota pemerintahan provisional Prancis di tahun 1848. Sebaliknya juga muncul para anarkis seperti Pierre Joseph Proudhon dan radikalis (insurrectionist) Auhuste Blanqui yang juga sangat berpengaruh di antara kaum sosialis di awal dan pertengahan abad ke-19.


Pada tahun 1840-an, istilah komunisme mulai muncul untuk menyebut sayap kiri yang militan dari faham sosialisme. Istilah ini biasanya dirujukkan kepada tulisan Etiene Cabet dengan teori-teorinya tentang kepemilikan umum. Istilah ini kemudian digunakan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menggambarkan pergerakan yang membela perjuangan kelas dan mengaruskan revolusi untuk menciptakan sebuah masyarakat kerjasama (society of cooperation).


Karl Marx (dalam bahasa Inggeris, Karl ialah Charlie) adalah anak dari pasangan Hirschel and Henrietta Marx. Ia lahir di Trier, Germany, tahun 1818. Hirschel Marx adalah seorang pengacara dan kerana gerakan anti-Semitik kemudian meninggalkan agama Yahudinya ketika Karl masih kecil. Meskipun majoriti penduduk Trier adalah katolik, Marx memutuskan untuk menjadi seorang protestan dan mengganti namanya dari Hirschel menjadi Heinrich

III. Jenis-jenis Sosialisme: Revolusionis dan Evolusionis (Gradualis)


Secara umum, sosialisme terbagi 2:

Di satu sisi adalah mereka yang berpendapat tentang pentingnya perjuangan kelas dan keharusan melakukan revolusi (revolusionis), dan di sisi lain adalah mereka yang berfaham bahwa cita-cita sosialisme ini hendaklah diwujudkan melalui cara-cara yang lebih berperingkat dan tanpa kekerasan.


Revolusionis diwakili oleh Marxism. Di dalam karya-karyanya, Marx menyerang kaum sosialis sebagai para pemimpi utopia teoritis yang mengabaikan pentingnya perjuangan revolusi untuk mendirikan doktrin-doktrinnya. Pada tahun 1848, Marx dan Engels menulis Communist Manifesto yang di dalamnya mereka menuliskan prinsip-prinsip yang disebut Marx sebagai scientific socialism. Di sini Marx mengajukan kemestian adanya konflik revolusioner antara modal dan buruh.


Sejalan dengan Marxisme, beberapa jenis sosialisme lainnya yang lebih memili jalan perjuangan berperingkat juga muncul, misalnya sosialisme kristian dengan tokohnya Frederick Denison Maurice dan Carles Kingsley.

Juga muncul sosialisme yang perjuangannya diwadahi dalam bentuk parti. Di tahun 1870-an sudah bermunculan parti-parti sosialis di banyak negara Eropah.


Di akhir abad 19, kaum revolusionis berada di atas angin kerana keadaan buruh semakin baik dan tidak terlihatnya tanda-tanda bahawa kapitalisme akan mati. Puncaknya mungkin adalah di Rusia ketika Parti Sosial Demokratis Buruh Rusia berpecah dalam Bolshevisme (revolusionis) dan Menshevisme (gradualis/peningkatan). Para pendukung bolshevisme inilah yang kemudian mengambil alih kekuasaan melalui Revolusi Rusia di tahun1917 dan mereka kemudian membentuk Partai Komunis Uni Soviet.

IV. Sosialisme dan Islam


Islam sejalan dengan komunisme?


Salah satu isu yang dilontarkan kaum sosialis di negara-negara majoriti muslim adalah bahawa Islam sejalan dengan sosialisme/komunisme. Hasan Raid misalnya dalam tulisannya yang disampaikan pada pertemuan yang diselenggarakan Forum Mahasiswa Ciputat tanggal 13 Juli 2000 di Jakarta, menyebutkan bahwa Islam dan komunisme/sosialisme itu harus bergandengan tangan.

Paling tidak ada 3 alasan yang dikemukakannya:


a. Islam memerangi kapitalisme

Pernyataan mereka adalah bahawa Islam cukup jelas menentang adanya manusia mengeksploitasi manusia lain sebagaimana tercermin dari surah Al An’am:145 atau QS Al Baqarah:188, atau yang lebih tegas lagi adalah ayat 1-4 surat Al Humazah (yang jelas-jelas mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk harta).

Dan orang-orang yang menumpuk harta tersebut ialah kaum kapitalis. Mengenai Islam menentang kapitalisme ini telah dikemukakan dengan jelas oleh HOS Tjokroaminoto, melalalui bukunya yang berjudul “Islam dan Sosialisme”.

Bukunya itu ditulis pada tahun 1924 di Mataram. Ini diantaranya yang dikatakan HOS Tjokroaminoto:

“Menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan keuntungan yang semestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan itu,–semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan ‘meerwaarde’ (nilai lebih) adalah dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan ‘riba’ belaka. Dengan begitu maka nyatalah, agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada ‘akarnya’, membunuh kapitalisme mulai darui ‘benihnya’, oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, iaitu memakan keuntungan ‘meerwaarde’ sepanjang fahamnya Karl Marx, dan ‘memakan riba’ sepanjang fahamnya Islam” (Penerbit Bulan Bintang, Jkt, 1954, hal: 17).


b. Menegakkan Sosialisme

Ini kerana Islam hendak menegakkan keadilan sosial misalnya dalam
surat Al Qashash ayat 5-6. Di sana dengan gamblang dikemukakan janji Tuhan yang akan menjadikan kaum tertindas dan miskin (mustadafhin atau dhuafa) sebagai pemimpin di bumi dan mewarisi bumi sehingga tidak ada tempat lagi bagi kaum mustakbirin (para diktator, angkuh dan kaya) untuk melakukan penindasan dan penghisapan terhadap kaum mustadafhin.

Keadilan sosial tegak. Tentang Islam akan menegakkan sosialisme, juga telah dikemukakan H. Agus Salim dalam Kongres Nasional VI SI, bulan Oktober 1921 di Surabaia. H. Agus Salim antara lain mengatakan:

Nabi Muhammad Saw sudah mengajarkan sosialisme, sejak 1200 tahun sebelum Karl Marx” (Sekneg: G 30-S Pemberontakan PKI”, 1994, hal: 11).


Kemudian menurut tulisan Hasan Raid ini, masyarakat yang berkeadilan sosial atau masyarakat sosialis adalah masyarakat transisi menuju masyarakat Tauhidik, “umat yang satu” seperti yang dikemukakan surat Al Mukminun ayat 52.

Mengenai masyarakat Tauhidik ini, Asghar Ali Engineer melalui bukunya “Islam dan Pembebasan” mengemukakan bahawa Tauhid tidak hanya menyatakan keesaan Allah, tetapi juga kesatuan manusia dalam semua hal. Suatu masyarakat jami’-i tawhid yang Islamik, tidak akan membenarkan diskriminasi dalam bentuk apapun, tidak kira itu didasarkan pada ras(keturunan), agama, kasta maupun kelas.

Masyarakat tauhidik yang sejati menjamin kesatuan sempurna diantara manusia dan untuk mencapai ini, perlu untuk membentuk masyarakat tanpa kelas.

Keesaan Allah mengharuskan kesatuan masyarakat dengan sempurna dan masyarakat demikian tidak menerima perbezaan dalam bentuk apapun, bahkan perbezaan kelas sekalipun. Tidak akan terjadi solidariti iman sejati, kecuali segala bentuk perbezaan ras(keturunan), bangsa, kasta, dan kelas dihilangkan. Pembahagian kelas menegaskan secara tidak langsung dominasi yang kuat atas yang lemah dan dominasi ini merupakan pengingkaran terhadap pembentukan masyarakat yang adil (hal: 94).


c. Pertentangan Kelas dan Perjuangan Kelas

Al Qur’an menyebutkan tentang pertentangan dan perjuangan kelas, misalnya surah Al Mukminun (53), Al Qashash (5-6) dan Ar Ra’du (11). Ketiga surah-surah di atas mengandungi petunjuk bahwa masyarakat manusia tidak satu lagi, tetapi telah terpecah-pecah dalam yang menindas dan yang tertindas.

Tuhan dalam hal ini terang-terangan memihak kepada kaum yang tertindas.

Itu tercermin dari janji Tuhan dalam Al Qashash (5-6). Melalui surat Ar Ra’du 11 cukup jelas dikemukakan, bahawa keadaan mereka yang tertindas dan miskin tetap akan tertindas dan miskin, bila mereka sendiri tidak bangkit melemparkan belenggu yang dililitkan kaum penindas atas leher mereka.

Usaha kaum atau perjuangan kelas dari kaum tertindas sendirilah yang menentukan terjadinya perubahan. Imbauan berperang untuk membebaskan orang-orang yang teraniaya dari surat Annisa 75 dan Al Hajj 39. Hadith Nabi Muhammad s.a.w juga mengatakan:

“Bila engkau melihat kemungkaran ubahlah dengan tangan (kekuatan, kekerasan), dan bila tidak mampu, ubahlah dengan lidah (kritik, nasehat) dan bila tidak mampu juga, ubahlah dalam hati dan itulah selemah-lemahnya iman. Bagi yang imannya kuat, kemungkaran harus diubah dengan tangan. “

Dengan mengemukakan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran di atas, mereka kemudian mendakwa bahawa Islam dengan jelas memerangi kapitalisme, Islam hendak menegakkan sosialisme, dan Islam bertujuan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.

Dan untuk memenangkan perjuangan mengalahkan kapitalisme, memenangkan sosialisme dan kemudian terwujudnya masyarakat tanpa kelas, Islam memberikan petunjuk harus dengan melalui perjuangan kelas. Semuanya itu menunjukkan terdapatnya titik persamaan antara Islam dan komunisme. Memang istilahnya tentu tidak sama.

Misalnya komunisme menyebut yang diperanginya “kapitalisme”, Islam memakai istilah ‘mengutuk orang-orang yang menumpuk harta”; komunisme memakai istilah “sosialisme” yang hendak ditegakkan, Islam mengatakan ‘menjadikan kaum tertindas menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi”.

Komunisme menyatakan tujuan tujuannya yang terakhir terbentuknya “masyarakat komunis”, “masyarakat tanpa kelas”, Islam memakai “masyarakat Tauhidik”.

Komunisme memakai istilah “perjuangan kelas”, Islam memakai istilah “usaha kaum”.

“Usaha” itu adalah “perjuangan”, “kaum”, itu adalah “golongan” atau “kelas”.
Dikatakan mereka bahwa tentang terdapatnya perbezaan antara Islam dan Komunisme tentu tak akan ada yang menyangkal. Islam mempermasalahkan kehidupan di dunia dan akhirat, sedang Komunisme hanya mempermasalahkan masalah kehidupan manusia di dunia, bagaimana supaya tegak keadilan. Masalah akhirat, tidak dipermasalahkan komunisme. Masalah akhirat, adalah masalah peribadi, masalah hubungannya dengan yang menciptakannya.

Islam Agama yang Fitrah


Mengenai sosialisme ini, Yusuf Qorodhowi dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an dan Sunnah (Malaamihu Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nasyuduh) menyebutkan 3 hal sebagai berikut.


1. Sistem ekonomi Sosialis menghilangkan pemilikan individu dan kebebasannya dan menganggap semua kekayaan itu sebagai perisai pemerintahan.

Prinsip ini sangat diagung-agungkan oleh masyarakat sebagai perwakilan dari negara. Individu dalam sistem ini tidak berhak memiliki tanah, fabrik pekarangan atau yang lainnya dari sarana produksi, tetapi ia wajib bekerja sebagai karyawan pemerintah sebagai pemilik segala sumber produksi dan yang berhak mengoperasikannya.

Pemerintah juga melarang seseorang untuk memiliki modal harta meskipun melalui prosedur yang halal. Adapun dalam Islam kita mengetahui bahwa dia menghargai hak milik pribadi, karena itu termasuk konsekuensi fitrah dan termasuk bahagian dari kebebasan (kemerdekaan).

Bahkan termasuk sifat dasar kemanusiaan, karena hak milik peribadi itu merupakan motivasi yang paling kuat untuk merangsang produktivitas dan meningkatkannya. Islam tidak membedakan antara sarana produksi dan yang lainnya, tidak pula membezakan antara pemilikan besar atau kecil, selama ia memperolehnya dengan cara yang sah menurut syari’at.


2. Faham sosialisme-Marxisme tegak di atas perang antar golongan (perjuangan kelas) dengan mempergunakan sarana kekerasan yang penuh pertumpahan darah.

Sehingga pada akhirya seluruh golongan itu hancur, kecuali satu golongan yaitu kaum “Proletariat” termasuk di dalamnya kaum buruh rakyat kecil.

Padahal yang sebenarnya menang bukanlah dari kalangan buruh, tetapi sekelompok manusia yang bekerja di parti dan tentera yang berkuasa atas nama golongan buruh di segala bidang dan melarang sebagian besar penduduk dari segala sesuatu. Oleh karena itu akhir penjelasan dari Karl Marx adalah:

“Wahai kaum buruh sedunia bersatulah!”

Adapun Islam, aturan dan falsafahnya tegak di atas persaudaraan antara manusia dan menganggap mereka semuanya satu keluarga dan memperbaiki hubungan di antara mereka apabila terjadi ketidakberesan. Islam menganggap hal itu lebih mulia daripada shalat atau puasa sunnah. Maka jelaslah perbezaan antara orang yang mengajak para buruh untuk bersatu melawan yang lainnya dengan orang yang mengajak manusia seluruhnya untuk bersaudara dan menjalin cinta kasih sesama mereka.

Nabi SAW bersabda:

“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Ahmad dan Muslim)


3. Faham Sosialis Marxis selalu diliputi oleh tekanan politik, dan ketakutan pemikiran serta berbagai pelarangan terhadap kebebasan.

Mereka menyembunyikan aspirasi kelompok-kelompok yang menentang sistem dan menuduh setiap kelompok pembangkan sebagai sikap primitif, kontra revolusi, pengkhianat atau dengan tuduhan yang lainnya. Sama saja sejak masa “Lenin” sampai hari ini. Dan Lenin pernah menulis kepada salah seorang sahabatnya, ia mengatakan:

“Sesungguhnya tidak mengapa membunuh tiga perempat penduduk dunia agar sisanya seperempat menjadi Sosialis.”

Adapun Islam itu tegak di atas dasar musyawarah, dan menjadikan nasihat pemerintah itu termasuk inti ajarannya, dan mendidik masyarakat untuk menyelamatkan orang yang berbuat kejahatan dengan lembut dan beramar ma’ruf nahi munkar serta memperingatkan ummat apabila melihat orang yang zhalim, kemudian bila mereka tidak memegang kedua tangannya (mencegahnya) maka Allah akan menyegerakan siksa untuk mereka dari sisi-Nya.


Muhammad Qutb ketika menjawab pertanyaan mengapa dunia memerlukan Islam sekarang ini, menuliskan sebagai-berikut:


Pertama bahawa Islam bukanlah semata-mata ideologi teori, tetapi ia merupakan sebuah sistem praktis yang mengapresiasi kebutuhan asasi manusia dan berusaha merealisasikannya.

Kemudian, di dalam upayanya memenuhi kebutuhan manusia ini, Islam berusaha mencapai keseimbangan dalam berbagai aspek aktiviti kehidupan. Ini dimulai dari keseimbangan individu antara jasad dan jiwanya. Juga keseimbangan antara kebutuhan individu dengan kebutuhan komuniti. Islam tidak membolehkan kedzholiman individu terhadap individu lainnya atau terhadap komunitas. Begitu juga Islam tidak membolehkan komuniti untuk mendzholimi individu.

Juga harus diingat bahawa keberadaan Islam adalah terpisah dari ideologi-ideologi lain baik sebagai falsafah sosial mahupun sebuah sistem ekonomi.

Beberapa tampilan Islam mungkin memang serupa dengan kapitalisme atau sosialisme, tetapi sebenarnya sangat berbeda dari keduanya. Islam dapat dikatakan mempertahankan hal-hal yang baik dari sistem-sistem ini, tetapi terbebas dari berbagai kelemahan yang dimilikinya. Islam menjamin kebebasan personal dan menyediakan kesempatan untuk berkembangnya enterprise individu, tanpa mengorbankan masyarakat atau keadilan sosial.


Selanjutnya beliau menyebutkan bahwa Islam berada di antara (keseimbangan) dua ekstrim: kapitalisme dan sosialisme.

Islam sangat menghargai baik peranan individu mahupun peranan negara dan mengharmonikan keduanya sedemikian sehingga seorang individu mempunyai kebebasan yang sangat diperlukannya untuk mengembangkan potensinya, tetapi juga memberikan kekuasaan kepada masyarakat dan negara untuk mengatur dan mengkontrol hubungan sosio-ekonomi untuk menjaga dan memelihara keharmonisan kehidupan manusia.


Juga Muhammad Qutb menegaskan bahwa sistem Islam yang unik ini tidak lahir sebagai reaksi terhadap sebuah tekanan ekonomi, juga bukan merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan yang berbeda.

V. PENUTUP

Tulisan ini ditutup dengan suatu ucapan yang sering disampaikan orang dalam mengamati gejala sosialisme ini. Ucapan ini memang bukan ucapan ilmiah karena tidak jelas siapa yang pertama kali mengatakannya, tetapi patut untuk kita renungkan:


“Apabila seorang anak muda tidak tertarik dengan sosialisme, maka berarti ia kurang pergaulan dan kurang wawasan. Tetapi apabila ketika menjadi tua, ia masih saja mengagumi sosialisme, maka berarti pemikirannya tidak berkembang.”


Sosialisme untuk Malaysia

Pada asasnya sosialisme adalah satu bentuk sistem pemerintahan yang merangkumi semua peringkat pentadbiran yang berteraskan hak sama rata (equality) yang ciri-ciri utamanya ialah demokrasi, kebebasan dan keadilan.

Dalam konteks Malaysia, sosialisme mampu untuk mengimbangi semula kacau-bilau yang dicetuskan oleh dasar kapitalisme – dasar yang membolehkan golongan kaya menjadi semakin mewah manakala golongan miskin terus menderita – yang dikecohkan lagi dengan dasar mengutamakan satu kaum dalam semua bidang.

Pada dasarnya, diskriminasi positif adalah sesuatu yang selaras dengan prinsip sosialisme di Malaysia. Tetapi satu-satu kaum tidak harus ditonjolkan atas alasan mahu mencapai taraf sama rata dengan kaum-kaum yang lain.

Penyelesaian melalui sosialisme ialah dengan mengutamakan keperluan golongan miskin dan tidak berupaya seperti orang cacat, orang sakit, kanak-kanak dan orang tua.

Dasar diskriminasi positif yang memberi keutamaan kepada golongan yang ketinggalan dalam pelbagai bidang adalah asas perjuangan sosialisme di Malaysia.

Dalam kehidupan sosial, sosialisme di Malaysia perlu memastikan sekularisme (pemisahan di antara agama dan kerajaan) wujud dalam masyarakat yang benar-benar demokratik.

Sosialisme yang menolak ketuanan mana-mana kaum di Malaysia turut tidak dapat menerima penguasaan (domination) mana-mana agama di negara ini.

Ini untuk mengelakkan agama-agama dan kepercayaan lain serta penganut-penganut mereka menjadi warga kelas dua.

Untuk mewujudkan keadilan yang berteraskan hak sama rata, sekularisme menjadi pilihan sosialis di Malaysia.

Dalam hal ini, sekularisme yang diperlukan ialah dasar dan pelaksanaan yang memastikan tidak ada mana-mana agama yang menguasai kerajaan dan pihak berkuasa, dan sebaliknya, iaitu tidak ada kerajaan dan pihak berkuasa yang menguasai mana-mana agama.

Kebebasan beragama dalam apa jua bentuk serta pemilihan untuk menganut atau menukar agama adalah hak mutlak setiap rakyat. Tidak ada sesiapa atau mana-mana undang-undang boleh menyekat hak asasi ini.

Hak-hak beragama juga termasuk hak membina rumah ibadat, menjalankan upacara agama dan apa-apa kegiatan agama tanpa gangguan dari mana-mana pihak, termasuk kerajaan dan pihak berkuasa.

Sosialisme di Malaysia harus wujud dalam keadaan di mana majoriti rakyat memilih untuk menerima hak sama rata dan sekularisme, bagi memastikan setiap rakyat bebas mengamalkan hak dan menunaikan tanggungjawab sosial. Ini adalah asas demokrasi yang dijamin di bawah sosialisme.

Dari sini juga, kebebasan dan keadilan dapat dilaksanakan sepenuhnya. Hanya sikap terbuka dan kesanggupan untuk melaksanakan reformasi diri dan minda dapat membolehkan rakyat Malaysia menerima sosialisme sebagai sistem pemerintahan negara.

Selagi fikiran dan hati masih dibelenggu oleh sikap perkauman dan keagamaan yang sempit, selagi itu Malaysia akan terus menjadi negara yang sentiasa diancam bom jangka rusuhan kaum atau agama yang boleh menghancurkan masyarakat dan negara.

Sosialisme adalah keadilan, dan keadilan hanya wujud apabila ada hak sama rata. Jika satu kaum atau agama menganggap dirinya sebagai yang terbaik dari yang lain dan mahu kaum dan agama lain tunduk di bawahnya, selagi itu tidak akan wujud hak sama rata, dan mustahil untuk sesiapa sahaja berlaku adil.

Dalam hal ini, sosialisme di Malaysia hanya boleh wujud jika ada persefahaman dan kerjasama antara rakyat tanpa mengira kaum, agama dan adat budaya, dan parti atau fahaman politik yang wujud pada masa ini. Ini adalah kerana parti-parti dan fahaman-fahaman politik yang ada hari ini terlalu mirip kepada kaum dan agama, menyebabkan sukar untuk duduk sama rata dan berbincang sebagai insan yang sama taraf.

Persefahaman dan kerjasama antara rakyat akan menjadi asas perpaduan negara, iaitu sebagai dasar untuk membentuk nasionalisme Malaysia yang tulen.

Diimbas kembali, sosialisme di Malaysia adalah demokrasi, hak sama rata, hak rakyat miskin dan ketinggalan, kebebasan, sekularisme dan nasionalisme.

Sosialisme di Malaysia mesti menolak perkauman, keagamaan yang sempit dan sikap buruk seperti salahguna kuasa, rasuah, penyelewengan dan pilih kasih, kerana semua gejala-gejala ini adalah penghalang kepada kehidupan yang bersih, sejahtera dan adil.



"Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka! MERDEKA!."
- Tunku Abdul Rahman -

© 1998-1999 socialistmalaysia. All queries to the webcomrade.


http://socialistmalaysia.tripod.com/news/endofprm.html

Monday, September 21, 2009

the rich gets richer, the poor gets the picture

It's funny how some people can easily get upset with socialism, even with the word itself.

It's funny because some even equated socialism with communism, but were angry when told that UMNO, PAS and KeADILan are basically the same. All of them are fighting for Malay rights, forcing Malaysians to accept Malay and Islamic dominance, and basically their leaders are behaving like...leaders.

The rest are sheep.

It's also funny because some people would rather allow themselves to be dominated by racism, religious extremism, parochialism and whatever negative -isms that seem to be rule of our daily life.

Never mind that freedom, equality, justice do not really exist under the current system, under the current government. Never mind that the opposition to the government do not have any clear idea of what they want to do with the system.

It may be easy of course to attack the "system", it is not a living thing, no one can see its face, but it is here to stay. The system that allows a Chinese to hate the Malays for "having everything" and for Malays to hate all Chinese for robbing the Malays of "their wealth", and to ensure everybody accepts that only one religion is the true faith. No compulsion indeed but no question about it either.

It seems that many Malaysians are adamant that socialism is wrong despite the fact that BN's racialism and religious fanaticism is similar to that of PAS. Even DAP does not seem to mind that they are working together with a fundamentalist party.

As for KeADILan, not much can be said at the moment except the result after the polling. Chances are the party that is fighting for one man may end up even worse than the party of a few disgruntled UMNO leaders which contested the last two elections (was it Semangat 46 or Parti Melayu Semangat 46, or is it Ku Li?).

There is another party, can't remember much the name but never mind that, because these groups of people who are leading the parties do not want to change anything except to kick out Dr Mahathir. With such a scenario, not much can be expected from this election. BN will win again and the opposition (some of them anyway) will survive to fight another day.

Maybe socialism is bad after all, despite many democratic socialists reject Stalin, Mao Zedong, Pol Pot and the oppressive system they represent.

Capitalism with its legalised robbery, plunder, rape, murder and enslavement of the people should be the best choice for Malaysians.

Most importantly, Malaysians are indeed funny people because they seem to agree with Dr Mahathir, Abdullah Badawi, Anwar Ibrahim, Fadzil Noor, Nik Aziz, Lim Kit Siang, Syed Husin Ali, Ruslan Kasim, Hishamudin Hussein Onn, Samy Vellu, Ling Liong Sik, Harun Din, Tajudin Ramli, Halim Saad, Ananda Krishnan, Vincent Tan, Lim Goh Tong, Ismail Kamus, Ronald Reagan, Margaret Thatcher, Benjamin Netanyahu, George Bush, Boris Yeltsin, John Howard, etc, that Socialism is bad.

Meanwhile, the rich gets richer and the poor gets the picture. Life goes on...



"Abuse of words has been the great instrument of sophistry and chicanery, of party, faction, and division of society."
- John Adams -

© 1998-1999 socialistmalaysia. All queries to the webcomrade.
Albert Einstein's Tongue

why socialism?
By Albert Einstein
From Monthly Review, New York, May, 1949.
Re-printed in Ideas and Opinions by Albert Einstein]

Is it advisable for one who is not an expert on economic and social issues to express views on the subject of socialism? I believe for a number of reasons that it is.

Let us first consider the question from the point of view of scientific knowledge. It might appear that there are no essential methodological differences between astronomy and economics: scientists in both fields attempt to discover laws of general acceptability for a circumscribed group of phenomena in order to make the interconnection of these phenomena as clearly understandable as possible. But in reality such methodological differences do exist. The discovery of general laws in the field of economics is made difficult by the circumstance that observed economic phenomena are often affected by many factors which are very hard to evaluate separately. In addition, the experience which has accumulated since the beginning of the so-called civilized period of human history has -- as is well known -- been largely influenced and limited by causes which are by no means exclusively economic in nature. For example, most of the major states of history owed their existence to conquest. The conquering peoples established themselves, legally and economically, as the privileged class of the conquered country. They seized for themselves a monopoly of the land ownership and appointed a priesthood from among their own ranks. The priests, in control of education, made the class division of society into a permanent institution and created a system of values by which the people were thenceforth, to a large extent unconsciously, guided in their social behavior.

But historic tradition is, so to speak, of yesterday; nowhere have we really overcome what Thorstein Veblen called "the predatory phase" of human development. The observable economic facts belong to that phase and even such laws as we can derive from them are not applicable to other phases. Since the real purpose of socialism is precisely to overcome and advance beyond the predatory phase of human development, economic science in its present state can throw little light on the socialist society of the future.

Second, socialism is directed toward a social-ethical end. Science, however, cannot create ends and, even less, instill them in human beings; science, at most, can supply the means by which to attain certain ends. But the ends themselves are conceived by personalities with lofty ethical ideals and -- if these ends are not stillborn, but vital and vigorous -- are adopted and carried forward by those many human beings who, half-unconsciously, determine the slow evolution of society.

For these reasons, we should be on our guard not to overestimate science and scientific methods when it is a question of human problems; and we should not assume that experts are the only ones who have a right to express themselves on questions affecting the organization of society. Innumerable voices have been asserting for some time now that human society is passing through a crisis, that its stability has been gravely shattered. It is characteristic of such a situation that individuals feel indifferent or even hostile toward the group, small or large, to which they belong. In order to illustrate my meaning, let me record here a personal experience. I recently discussed with an intelligent and well-disposed man the threat of another war, which in my opinion would seriously endanger the existence of mankind, and I remarked that only a supranational organization would offer protection from that danger. Thereupon my visitor, very calmly and coolly, said to me: "Why are you so deeply opposed to the disappearance of the human race?"

I am sure that as little as a century ago no one would have so lightly made a statement of this kind. It is the statement of a man who has striven in vain to attain an equilibrium within himself and has more or less lost hope of succeeding. It is the expression of a painful solitude and isolation from which so many people are suffering in these days. What is the cause? Is there a way out?

It is easy to raise such questions, but difficult to answer them with any degree of assurance. I must try, however, as best I can, although I am very conscious of the fact that our feelings and strivings are often contradictory and obscure and that they cannot be expressed in easy and simple formulas.

Man is, at one and the same time, a solitary being and a social being. As a solitary being, he attempts to protect his own existence and that of those who are closest to him, to satisfy his personal desires, and to develop his innate abilities. As a social being, he seeks to gain the recognition and affection of his fellow human beings, to share in their pleasures, to comfort them in their sorrows, and to improve their conditions of life. Only the existence of these varied, frequently conflicting strivings accounts for the special character of a man, and their specific combination determines the extent to which an individual can achieve an inner equilibrium and can contribute to the well-being of society. It is quite possible that the relative strength of these two drives is, in the main, fixed by inheritance. But the personality that finally emerges is largely formed by the environment in which a man happens to find himself during his development, by the structure of the society in which he grows up, by the tradition of that society, and by its appraisal of particular types of behavior. The abstract concept "society" means to the individual human being the sum total of his direct and indirect relations to his contemporaries and to all the people of earlier generations. The individual is able to think, feel, strive, and work by himself; but he depends so much upon society--in his physical, intellectual, and emotional existence--that it is impossible to think of him, or to understand him, outside the framework of society. It is "society" which provides man with food, home, the tools of work, language, the forms of thought, and most of the content of thought; his life is made possible through the labor and the accomplishments of many millions past and present who are all hidden behind small word "society."

It is evident, therefore, that the dependence of the individual upon society is a fact of nature which cannot be abolished -- just as in the case of ants and bees. However, while the whole life process of ants and bees is fixed down to the smallest detail by rigid, hereditary instincts, the social pattern and interrelationships of human beings are very variable susceptible to change. Memory, the capacity to make combinations, the gift of oral communication have made possible developments among human beings which are dictated by biological necessities. Such developments manifest themselves in traditions, institutions, and organizations; in literature; in scientific and engineering accomplishments; in works of art. This explains how it happens that, in a certain sense, man can influence his life and that in this process conscious thinking and wanting can play a part.

Man acquires at birth, through heredity, a biological constitution which we must consider fixed and unalterable, including the natural urges which are characteristic of the human species. In addition, during his lifetime, he acquires a cultural constitution which he adopts from society through communication and through many other types of influences. It is this cultural constitution which, with the passage of time, is subject to change and which determines to a very large extent the relationship between the individual and society Modern anthropology has taught us, through comparative investigation of so-called primitive cultures, that the social behavior of human beings may differ greatly, depending upon prevailing cultural patterns and the types of organization which predominate in society. It is on this that those who are striving to improve the lot of man may ground their hopes: human beings are not condemned, because of their biological constitution, to annihilate each other or to be at the mercy of a cruel, self-inflicted fate.

If we ask ourselves how the structure of society and the cultural attitude of man should be changed in order to make human life as satisfying as possible, we should constantly be conscious of the fact that there are certain conditions which we are unable to modify. As mentioned before, the biological nature of man is, for all practical purposes, not subject to change. Furthermore, technological and demographic developments of the last few centuries have created conditions which are here to stay. In relatively densely settled populations with the goods which are indispensable to their continued existence, an extreme division of labor and a highly productive apparatus are absolutely necessary. The time -- which, looking back, seems so idyllic -- is gone forever when individuals or relatively small groups could be completely self-sufficient. It is only a slight exaggeration to say that mankind constitutes even now a planetary community of production and consumption.

I have now reached the point where I may indicate briefly what to me constitutes the essence of the crisis of our time. It concerns the relationship of the individual to society. The individual has become more conscious than than ever of his dependence upon society. But he does not dependence as a positive asset, as an organic tie, as a protective force, but rather as a threat to his natural rights, or even to his economic existence. Moreover, his position in society is such that the egotistical drives of his make-up are constantly being accentuated, while his social drives, which are by nature weaker, progressively deteriorate. All human beings, whatever their position in society, are suffering from this process of deterioration. Unknowingly prisoners of their own egotism, they feel insecure, lonely, and deprived of the naive, simple, and unsophisticated enjoyment of life. Man can find meaning in life, short and perilous as it is, only through devoting himself to society.

The economic anarchy of capitalist society as it exists today is, in my opinion, the real source of the evil. We see before us a huge community of producers the members of which are unceasingly striving to deprive each other of the fruits of their collective labor -- not by force, but on the whole in faithful compliance with legally established rules. In this respect, it is important to realize that the means of production -- that is to say, the entire productive capacity that is needed for producing consumer goods as well as additional capital goods -- may legally be, and for the most part are, the private property of individuals.

For the sake of simplicity, in the discussion that follows I shall call "workers" all those who do not share in the ownership of the means of production -- although this does not quite correspond to the customary use of the term. The owner of the means of production is in a position to purchase the labor power of the worker. By using the means of production, the worker produces new goods which become the property of the capitalist. The essential point about this process is the relation between what the worker produces and what he is paid, both measured in terms of real value. In so far as the labor contract is "free," what the worker receives is determined not by the real value of the goods he produces, but by his minimum needs and by the capitalists' requirements for labor power in relation to the number of workers competing for jobs. It is important to understand that even in theory the payment of the worker is not determined by the value of his product.

Private capital tends to become concentrated in few hands, partly because of competition among the capitalists, and partly because technological development and the increasing division of labor encourage the formation of larger units of production at the expense of the smaller ones. The result of these developments is an oligarchy of private capital the enormous power of which cannot be effectively checked even by a democratically organized political society. This is true since the members of legislative bodies are selected by political parties, largely financed or otherwise influenced by private capitalists who, for all practical purposes, separate the electorate from the legislature. The consequence is that the representatives of the people do not in fact sufficiently protect the interests of the underprivileged sections of the population. Moreover, under existing conditions, private capitalists inevitably control, directly or indirectly, the main sources of information (press, radio, education). It is thus extremely difficult, and indeed in most cases quite impossible, for the individual citizen to come to objective conclusions and to make intelligent use of his political rights.

The situation prevailing in an economy based on the private ownership of capital is thus characterized main principles: first, means of production (capital) are privately owned and the owners dispose of them as they see fit; second, the labor contract is free. Of course, there is no such thing as a pure capitalist society in this sense. In particular, it should be noted that the workers, through long and bitter political struggles, have succeeded in securing a somewhat improved form of the "free labor contract" for certain categories of workers. But taken as a whole, the present-day economy does not differ much from "pure" capitalism. Production is carried on for profit, not for use. There is no provision that all those able and willing to work will always be in a position to find employment; an "army of unemployed" almost always exists. The worker is constantly in fear of losing his job. Since unemployed and poorly paid workers do not provide a profitable market, the production of consumers' goods is restricted, and great hardship is the consequence. Technological progress frequently results in more unemployment rather than in an easing of the burden of work for all. The profit motive, in conjunction with competition among capitalists, is responsible for an instability in the accumulation and utilization of capital which leads to increasingly severe depressions. Unlimited competition leads to a huge waste of labor, and to that crippling of the social consciousness of individuals which I mentioned before.

This crippling of individuals I consider the worst evil of capitalism. Our whole educational system suffers from this evil. An exaggerated competitive attitude is inculcated into the student, who is trained to worship acquisitive success as a preparation for his future career.

I am convinced there is only one way to eliminate these grave evils, namely through the establishment of a socialist economy, accompanied by an educational system which would be oriented toward social goals. In such an economy, the means of production are owned by society itself and are utilized in a planned fashion. A planned economy, which adjusts production to the needs of the community, would distribute the work to be done among all those able to work and would guarantee a livelihood to every man, woman, and child. The education of the individual, in addition to promoting his own innate abilities, would attempt to develop in him a sense of responsibility for his fellow-men in place of the glorification of power and success in our present society.

Nevertheless, it is necessary to remember that a planned economy is not yet socialism. A planned economy as such may be accompanied by the complete enslavement of the individual. The achievement of socialism requires the solution of some extremely difficult socio-political problems: how is it possible, in view of the far-reaching centralization of political and economic power, to prevent bureaucracy from becoming all-powerful and overweening? How can the rights of the individual be protected and therewith a democratic counterweight to the power of bureaucracy be assured?


"The man who enjoys marching in line and file to the strains of music falls below my contempt: he received his great brain by mistake; the spinal cord would have been amply sufficient."
- Albert Einstein -

© 1998-1999 socialistmalaysia. All queries to the webcomrade.
MENGAPA KITA HARUS MENENTANG SOSIALISME?
Oleh Anak Melayu Merdeka

Sosialisme adalah sistem hidup yang menjamin hak asasi manusia, hak sama rata, demokrasi, kebebasan dan sekularisme. Jaminan ini akan mewujudkan keadilan secara keseluruhan.

Itu kata golongan sosialis. Kononnya sosialisme berlaku adil kerana tidak akan ada lagi diskriminasi kaum, agama dan jantina.

Ideologi ini adalah bertentangan dengan budaya Malaysia yang tidak memerlukan hak asasi manusia kerana kita masih mahu terus hidup di bawah kongkongan feudalisme. Walaupun raja-raja sudah diperlembagaankan, pemerintah yang ada kekal dengan adat budaya yang sama.

Bagi kita orang Melayu, khususnya, feudalisme dalam erti kata rakyat menyembah pemimpin dan hanya pemimpin yang tahu apa yang baik untuk rakyat, adalah sesuai dan sebati dengan budaya hidup kita.

Sama ada pemerintah itu adalah Umno atau Pas atau Keadilan, ketuanan Melayu harus dipertahankan.

Oleh itu sosialisme yang memperjuangkan hak asasi manusia, terutama menyokong penuh Deklarasi Hak Asasi Manusia Sejagat tidak diperlukan di Malaysia.

Hak sama rata bererti ketuanan Melayu dicabar. Bumi Malaysia adalah hak mutlak dan hak istimewa Melayu. Kaum lain tidak berhak untuk memimpin Malaysia walaupun mereka lahir dan dibesarkan di negara ini.

Kita mahu Umno atau Pas atau Keadilan terus mempertahankan hak semulajadi ini kerana ia adalah hak dan tradisi turun-temurun (dicipta pada tahun 1957 dan diperkukuhkan selepas 1969).

Demokrai yang menjadi junjungan sosialisme harus kita tentang kerana ia adalah menyebabkan rakyat menjadi penentu kepada segala keputusan perjalanan sistem negara.

Mana boleh! Hanya pemimpin-pemimpin Melayu dan Islam dalam Umno atau Pas atau Keadilan yang berhak diberi kuasa ini.

Rakyat Malaysia masih mentah dan belum cukup matang untuk dibenarkan menikmati demokrasi sebenar. Cukuplah pilihanraya lima tahun sekali dan sesekali dibenarkan rapat umum. Tetapi untuk rakyat, dan bukan pemimpin, yang menentukan arah tuju negara, ini tidak masuk akal sama sekali.

Hanya pemimpin Melayu, terutama yang berpendidikan agama Islam, yang layak membuat keputusan untuk kebaikan rakyat. Apalagi rakyat bukan Melayu dan bukan Islam tidak boleh diharap untuk menjaga kepentingan Melayu dan Islam.

Kebebasan yang didokong oleh sosialisme jelas bertentangan dengan budaya kita. Kerajaan, ketua masyarakat, ketua agama dan ibu bapa harus memainkan peranan untuk mengawal rakyat.

Rakyat Malaysia tidak boleh dibenarkan mengamalkan kebebasan kerana ia bertentangan dengan agama dan adat resam. Hanya pemimpin berhak diberi kebebasan untuk mengatur hidup 22 juta rakyat Malaysia.

Kebebasan akan mengakibatkan Malaysia huru-hara kerana rakyat Malaysia tidak mahu kebebasan. Rakyat sudah biasa hidup di bawah seribu satu undang-undang dan peraturan.

Kita tahu Umno atau Pas atau Keadilan, dan parti-parti lain seperti MCA, MIC, DAP dan sebagainya tidak rela rakyat diberi kebebasan. Ini adalah kerana kebebasan itu akan digunakan untuk mengutuk pemimpin-pemimpin politik yang selama ini memperjuangkan kepentingan kaum dan agama masing-masing.

Perkauman dan pemisahan antara kaum sudah sekian lama menjadi formula kejayaan Malaysia. Malah Pas dan Keadilan juga tidak mahu formula ini diubah kerana ia akan membolehkan pemimpin-pemimpin mereka meneruskan sistem yang ada, jika menjadi kerajaan, untuk tujuan perjuangan politik kaum dan agama.

Dengan menolak kebebasan, demokrasi dan hak sama rata, rakyat Malaysia khususnya orang Melayu dan Islam harus bersatu tenaga untuk menentang sosialisme habis-habisan kerana berpegang kepada sekularisme.

Kita orang Melayu yang semakin kuat pegangan Islam kita tidak rela sekularisme, atau yang dikatakan oleh tuan-tuan guru kita sebagai "politik suku, agama suku", bertapak di bumi Malaysia.

Kita tahu Umno, Pas dan Keadilan tidak akan menerima sekularisme di negara ini.

Mana boleh sekularisme diterima kerana ia akan mencabar hak-hak istimewa agama Islam yang selama ini berjaya menolak ke tepi hak-hak agama lain.

Islam adalah satu-satu agama yang benar, dan agama-agama lain adalah palsu belaka. Menjadi tugas dan tanggungjawab umat Islam untuk memastikan sekularisme, walaupun akan berlaku adil kepada semua agama, ditolak sama sekali.

Mustahil Islam boleh diletakkan setaraf dengan agama-agama lain. Ini yang cuba dilakukan oleh sekularime. Keadilan melalui sosialisme ini akan merugikan orang Islam. Jadi sekularisme harus ditentang.

Dengan ini, jelas sosialisme - walau bagaimana adil dan saksama sekali pun - tidak sesuai di bumi Malaysia.

Kita mahu keadaan tidak diubah. Biarlah Melayu dan Islam kekal menjadi tuan, walaupun ada sesetengah orang Melayu dan Islam yang liberal, sederhana dan progresif tidak setuju dengan kita.

Yang penting, keadilan boleh diketepikan jika ia mengancam sistem dan budaya feudal and konservatif kolot yang kita pegang serta amalkan selama ini.

Reformasi yang kita mahukan ialah menukar pemimpin, bukannya mengubah sistem hidup. Keadilan hanya untuk kita, yang lain hanya mengikut. Inilah sistem Malaysia yang perlu kita pertahankan.

Pergi jahanam dengan sosialisme! Kita tidak mahu keadilan dan demokrasi ala-sosialisme yang akan menjadikan Melayu setaraf dengan kaum-kaum lain dan akan meletakkan Islam sama darjat dengan agama-agama lain.

Malah, sanggupkah kita rakyat Malaysia menerima hakikat bahawa kaum wanita akan benar-benar setaraf; duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, dengan lelaki?

Apakah kaum lelaki sanggup menjadi saingan wanita yang sepatutnya duduk di rumah menjaga anak, memasak dan mengemas rumah?

Sosialisme akan memberi sepenuh hak kepada wanita. Ini kita tidak boleh benarkan. Masyarakat kita sudah meletakkan tahap wanita dan mereka tidak boleh sesuka hati menentang kehendak Tuhan, agama dan budaya Timur.

Hancurkan sosialisme kerana wanita akan dijadikan setaraf dengan lelaki dan masyarakat Malaysia akan sama adil dan sama taraf tanpa mengira kaum, agama dan kepercayaan.

Mana boleh!!!



"Every revolutionary ends as an oppressor or a heretic."
- Albert Camus -

© 1998-1999 socialistmalaysia. All queries to the webcomrade.